Tari-Tarian dan Masyarakat Indonesia
Para siswa yang kami cintai, pada pembahasan bab ini
kalian akan dikenalkan banyak seni tari tradisi di Indonesia.
Indonesia adalah negara yang kaya atas keragaman budaya dan
suku bangsa. Setiap suku bangsa dan budaya memiliki ciri dan
kekhasan yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah
lainnya. Perpaduan budaya antar suku bangsa dapat
mempengaruhi perubahan. Hal ini disebut akulturasi. Perbedaan
pengaruh budaya dari satu suku bangsa dan suku bangsa lain
terjadi karena adanya kontak budaya dan hal ini sulit dihindari.
Pengaruh tersebut sa;ah satunya terjadi pada budaya seni tari.
Pada tari klasik Jawa Yogyakarta dan Surakarta dikenal
istilah Hasto Sawando, yang tertuang pada sikap tubuh, tangan
dan kaki yang antara lain adalah ngithing, nyempurit, ngepel,
ngruji. Konsep tentang sikap tari tersebut di Jawa dipahami
sebagai bentuk sikap anggota gerak yang kerap disebut motif
tangan, kaki, dan badan.
Pada tari-tarian manca daerah, tarian merupakan bentuk
seni pertujukan, akan tetapi pada sisi tertentu tarian merupakan
bentuk ritual upacara dan perayaan hari besar di daerah tertentu
pula. Kondisi ini menggambarkan bahwa perbedaan tujuan dan
bentuk penyajiaannya pada ujungnya mempengaruhi format
pertunjukan dan peran fungsi tari di masyarakat.
Pada tarian daerah yang ada di daerah tertentu musik
iringan tarinya digunakan adalah seperangkat gamelan slendro
dan pelog yang disebut satu pangkon. Di daerah lain banyak
menggunakan alat musik yang terdiri dari kendang, kenthong,
keprak, gitar, terbang/rebana, akordion, dan masih banyak lagi.
Lagu-lagu yang digunakan ada yang memiliki jenis lagu
Islami dalam bentuk salawatan. Tetapi pada sisi lain, lagu yang
ada terdiri dari lagu-lagu jenis keroncong, dan masih banyak lagi
yang antara lain adalah lagu-lagu dolanan dan lagu-lagu daerah
tertentu yang ada di sekitar tarian tersebut. Sarana magis juga ada pada tari daerah tertentu. Hal ini
tidak dapat dipungkiri bahwa pertunjukan magis menjadi model
terutama untuk tari daerah tertentu atau pertunjukan tarian
tertentu sering dikaitkan dengan kondisi klimaks tari yang
memperagakan penari dalam keadaan trance atau tidak sadar
diri. Menurut Soedarsono, trance adalah keadaan dimana penari
mamainkan peranan penting dalam komunitas dengan kekuatan-
kekuatan di luar batas kemampuan manusia umumnya. Cara ini
sering disebut kerasukan makhluk halus atau kekuatan
supranatural.
Untuk melestarikan tari-tarian daerah adalah dengan cara
merevitalisasi kembali tarian atau mengadopsi tarian ke dalam
bentuk pertunjukan lain, yakni dengan melalui pembelajaran di
sekolah-sekolah melalui bentuk intrakurikuler maupun
ekstrakurikuler seperti di Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah
Tingkat Pertama (SLTP), atau Sekolah Menengah Tingkat Atas
(SLTA).
Tari-tarian tertentu pada puncaknya akan menjadi maskot
budaya daerah. Hal tersebut banyak dimiliki oleh masyarakat
tertentu, akan tetapi dalam kenyataan tarian tertentu mampu
bertahan lestari bahkan menjadi simbul budaya bangsa Indonesia
karena intensitas dan daya magis tarian tersebut pada saat
pertunjukan.
Tari-tarian yang mengalami puncak budaya daerah pada
saat tertentu mampu menjadi maskot bangsa. Banyak tarian yang
mampu menjadi maskot bangsa adalah banyak tarian yang
berasal dari Bali, Saman dan Saudati (Aceh), Topeng (Jabar),
Srimpi dan Bedoyo, Prawiroguno, Prawirowatang (Jawa Tengah
dan Yogyakarta), serta masih banyak tari-tarian lain yang
menduduki puncak sama di daerah menjadi maskot daerah
tertentu seperti Alang Babega (Smbar), Gending Sriwijaya
(Sumsel), Cangget (Lampung), Tabot (Bengkulu), Dolalak
(Purworejo), Tari Geliat Bedug (Banten), Jothil (Gunung Kidul),
Gandrung (Banyuwangi/Jawa Timur), Rangde (Bali), Ndi (Irian
Jaya),
Kebudayaan masyarakat Jawa pada umumnya sangat
dekat dengan kebudayaan atau masyarakat keraton . Kondisi ini
patut disyukuri, bukan sebaliknya, tari-tarian di Indonesia pada
umumnya adalah memiliki dua karakter yakni terdiri dari tari
tradisional dan tari nontradisional.
Tari-tarian di Jawa Tengah patut disyukuri karena
terpelihara dengan baik. Hal ini dibuktikan oleh Bratawijaya
bahwa budaya masyarakat Jawa tidak dapat dipisahkan dari budaya keraton Yogyakarta Hadiningrat dan Pakualaman
Surakarta (Thomas Wiyasa B: 1997, 77).
Sejak dahulu, masyarakat Jawa sudah mengenal adanya
Tuhan. Hidup di dunia ada yang mengatur selain manusia. Budi
Herusatoto menyatakan bahwa roh ada, roh yang paling kuat dari
manusia. Herusatoto, Mitos dan magis yang ada sejak zaman
prasejarah diyakini oleh manusia selalu mengganggu dan
membuat situasi menjadi kurang berjalan sesuai harapan.
Orang-orang Jawa masih ada yang menganut paham
animisme dan dinamisme begitu kuat dan kental. Hal ini tidak
dapat dipungkiri bahwa mereka sulit dipengaruhi telah hadirnya
agama yang tumbuh dan berkembang di sampingnya. Agama-
agama yang telah ada di sekitar mereka adalah agama Islam,
Hindu, Budha, Kristen, Katholik, dan agama yang dianut suku
Khonghucu.
Pada masa tahun 1970-an, pengaruh animisme dan
dinamisme masih terasa, pengaruh Budha dann Hindu hingga
masa kini juga kuat mazhabnya. Hal ini juga berpengaruh kepada
sikap dan perilaku orang Jawa pada umumnya bahwa tindakan
religius orang Jawa masih memuja dewa-dewa, salah satunya
adalah dewa Padi. Pembuatan sajen atas keselamatan nenek
moyang terkait pada acara-acara tertentu berhubungan dengan
kesenian rakyat sintren, tayub, gugur gunung, ebegan, jothil, dan
masih banyak lagi jenis kesenian rakyat.
Kesenian rakyat yang berkembang di masyarakat Jawa
terdiri dari kesenian jaran kepang atau kuda lumping, tayub,
sintren, dolalak, gugur gunung, ebegan, jothil, dan lain-lain.
Kesenian rakyat ini dalam pementasannya ada yang berakhir
dengan trance atau mendem. Pada acara tertentu kesenian
rakyat jenis ini dipentaskan secara periodik dan terprogram
melalui berbagai acara yang tepat pada saat dipentaskan.
Tarian Jaipong Seni Tari Asal Jawa Barat
Jaipongan adalah seni tari yang lahir dari kreativitas seorang seniman asal Bandung, Gugum Gumbira. Ia terinspirasi pada kesenian rakyat yang salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan atau Bajidoran atau Ketuk Tilu. Sehingga ia dapat mengembangkan tarian atau kesenian yang kini di kenal dengan nama Jaipongan.
Karya Jaipongan pertama yang mulai dikenal oleh masyarakat adalah tari “Daun Pulus Keser Bojong” dan “Rendeng Bojong” yang keduanya merupakan jenis tari putri dan tari berpasangan (putra dan putri). Awal kemunculan tarian tersebut semula dianggap sebagai gerakan yang erotis dan vulgar, namun semakin lama tari ini semakin popular dan mulai meningkat frekuensi pertunjukkannya baik di media televisi, hajatan, maupun perayaan-perayaan yang disenggelarakan oleh pemerintah atau oleh pihak swasta.
Dari tari Jaipong ini mulai lahir beberapa penari Jaipongan yang handal seperti Tati Saleh, Yeti Mamat, Eli Somali, dan Pepen Dedi Kirniadi. Kehadiran tari Jaipongan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap para pencinta seni tari untuk lebih aktif lagi menggali jenis tarian rakyat yang sebelumnya kurang di perhatikan. Dengan munculnya tari Jaipongan ini mulai banyak yang membuat kursus-kursus tari Jaipongan, dan banyak dimanfaatkan oleh para pengusaha untuk pemikat tamu undangan.
Di Subang Jaipongan gaya “Kaleran” memiliki ciri khas yakni keceriaan, erotis, humoris, semangat, spontanitas, dan kesederhanaan. Hal itu tercermin dalam pola penyajian tari pada pertunjukannya, ada yang diberi pola (Ibing Pola) seperti pada seni Jaipongan yang ada di Bandung, juga ada pula tarian yang tidak dipola (Ibing Saka), misalnya pada seni Jaipongan Subang dan Karawang. Istilah ini dapat kita temui pada Jaipongan gaya kaleran, terutama di daerah Subang.
Tari Jaipongan pada saat ini bisa disebut sebagai salah satu tarian khas Jawa Barat, terlihat pada acara-acara penting kedatangan tamu-tamu dari Negara asing yang datang ke Jawa Barat, selalu di sambut dengan pertunjukkan tari Jaipongan. Tari Jaipongan ini banyak mempengaruhi pada kesenian-kesenian lainnya yang ada di Jawa Barat, baik pada seni pertunjukkan wayang, degung, genjring dan lainnya yang bahkan telah dikolaborasikan dengan Dangdut Modern oleh Mr. Nur dan Leni hingga menjadi kesenian Pong-Dut.
Gamelan Menuju Industri Kreatif
Seni gamelan baik asal jawa, sunda, bali, bugis atau lainnya untuk [ada era globalisasi ini sangat potensial menuju industri yang kreatif, karena dalam perkembangannya musik musik di barat kini banyak berpaling ke wilayah timur, termasuk indonesia.
Guru besar kerawitan institut seni indonesia (isi) surakarta prof dr. Rahayu supanggah mengatakan hal itu dalam seminar "pertumbuhan dan perkembangan gong kebyar "yang diselenggarakan jurusan karawitan fakultas seni pertunjukan isi surakarta di kampus kentingan solo sabtu pekan lalu.
"Dulu musik musik barat telah dieksploitas sedemikian kuat, tetapi sekarang sudah tidak lagi dan beralih kebudayaan timur termasuk indonesia. Untuk itu gamelan sangat potensial menuju industri kreatif,"katanya.
Trend globalisasi ini jangan hanya dipandang sebagai ancaman.tetapi dalam kenyataannya juga membuka peluang besar bagi perkembangan musik gamelan, karena sekarang ini banyak dilirik oleh dunia barat.
Gamelan didunia barat tidak hanya dijadikan inspirasi untuk mengembangkan musik-musik barat,tetapi juga siajarkan di penjara-penjara seperti inggris inggris. "melalui gamelan ini orang bisa menghikangkan sifat brutal, menambah kreatifitas, memupuk prinsip=prinsip kerja sama, gamelan ini sekarang telah menjadi multi guna,"katanya.
Pada zaman modern seperti sekarang initradisi menjadi penting,untuk mencari identitas diri, untuk itu tidak mengherankankalau para musikus barat dalam mencari jati dirinya banyak yang berpaling ke budaya timur yang masih asli itu.
Gamelan sekarang ini sudah tersebar di mana-mana, seperti di amerika serikat di sana ada 500pernagkat gamelan lebih, di inggris, jepang ada sekitar 100 perangkat gamelan, di australia, jerman, peracis, bahkan seperti sdi singapura itu setiap sekolah dasar hampor semua memiliki gamelan.
Karena itu para mahasiswa yang menekuni bidang ini di tanah air hendaknya melakukuannya secara serius, agar tidak ketinggalan dengan bangsa lain yang juga mempelajari gamelan,
Sumber : koran pak oles edisi 167
The Major Scale
I read on the Internet that if Western music were genetic material, the
major scale would be its DNA. A more perfect analogy I have never
heard.
The major scale is the basis for nearly all music you’re familiar with,
from country to hip-hop, classical to jazz, grunge to punk.
Other scales are described based on their relationships to the major scale.
Intervals—the measurement of distance between two notes—are based
on the major scale. Chord symbols are derived from the major scale.
Remember our definition of a scale. It’s kind of wordy, and you don’t
need to memorize it, so here it is again: a graduated series of musical
tones ascending or descending in order of pitch according to a specific
scheme of their intervals.
With the chromatic scale, the scheme of intervals was half steps. With the
major scale, the scheme of intervals is a series of whole and half steps.
Remember that a whole step consists of two half steps.
Every scale has a letter name and a descriptive name. The letter is the
bottom note of the scale and also the top note of the scale. The
descriptive name tells you what kind of scale it is, like major, minor,
blues, pentatonic, etc. For example, the D Major scale would start on D
and end on D and have the necessary whole and half steps which make up
a major scale.
Enough words. An example will show you the pattern of whole and half
steps for a major scale. The scale we’ll use will be the C Major scale,
because it has no sharps or flats in it.
If you have your keyboard out and use it to follow along, you’ll
understand these concepts more quickly and more thoroughly.
Conducting
A conductor is a musician whose instrument is a large group of singers or
instrumentalists. These musicians are guided either with a baton (also
called a stick) or by the conductor’s hands alone.
An audience only sees a very small part of what a conductor does,
because all they see is the conductor’s back. The audience doesn’t get to
see the frowns and grimaces, the stern looks and the kind, the oh-so-rare
smiles, and all the subtle nuances of body language and facial gesture.
The audience sees only the wilder gesticulations of the arms and part of
the body language.
Most of a conductor’s work in shaping a piece of music comes during
rehearsals, though a good conductor with a good group of musicians can
shape a piece of music spontaneously during a performance.
A conductor’s arm moves in a specific pattern which depends upon the
time signature of the piece being played. It’s usually the right hand and
arm which beat out this pattern while the left hand controls dynamics and
phrases and expressiveness. This is only a general rule.
The roles of a conductor change depending upon the level of musician in
the group. Let’s compare conductors at the two ends of the spectrum: the
professional symphony conductor and the elementary school music
teacher.
Imagine being responsible for forty students and their knowledge of their
instrument and music, fingerings, posture, embouchure, breathing,
reading music, and how to clean their instrument. These are just a few
things a musician should know. There are thousands of school teachers
who are responsible for teaching this every day of every school year, and
in addition to all that, they conduct these musicians in rehearsals and
concerts. Then of course there is grading, and faculty meetings, and hall
duty, and on and on. We should be in awe of them. If you know one,
thank him or her.
A professional orchestra conductor’s focus is more on his or her aural
vision of the piece, on the subtle nuances of the music. He or she is not
concerned with teaching the clarinets an alternate fingering for low F. A
professional conductor might be interested with a certain passage being more marcato, a little quieter, and with less trombone. A conductor may
however, fire the clarinetist who doesn’t know the alternate fingering for
low F.
Whatever the level, a conductor is responsible for many more things than
the individual musician. First of all, the music a conductor reads is much
more complex than the music of any player in the group. This is because
the conductor reads from a score, which is a large, multi-paged piece of
music with all the parts in it, from the piccolo to the percussion, from the
violin to the bass voice parts.
Conductors are also musical scholars, and should know about
performance practices (how a certain piece should be performed), about
chord structure and chord progressions, about the intonation tendencies
of every instrument, about movement and how musicians react to it,
about rehearsal technique and how to get what is needed from musicians,
about music history and theory, and on and on. A good conductor is
always learning.
picture : http://en.wikipedia.org/wiki/Conducting